Pak Dhe ngeblog !:-) [13]

Ide Menulis Masih Macet Juga

Ini cerita pak Dhe ketika ikut pelatihan blog. Tanpa ada angin tanpa ada hujan tahu-tahu pak Dhe harus ikut pelatihan blog bersama Ajiz, ponakan tersayangnya.

Keinginan yang kuat dari Ajiz untuk belajar ngeblog membuat pak Dhe harus menemaninya, karena orang tua Ajiz masih berhalangan untuk menemani dan peserta pelatihan blog tidak boleh ditemani oleh orang tuanya, artinya pak Dhe harus mendaftar juga sebagai peserta pelatihan blog.

Sampailah acara pelatihan pada acara tanya jawab, dan inilah salah satu rangakaian pertanyaan yang membuat peserta pelatihan tergelak-gelak mendengarnya.

“Saran mas Ismail sudah dilaksanakan, tapi kenapa masih juga gak bisa menulis blog mas?”, kata Aini, salah satu peserta pelatihan blog.

Mas Ismail, sang instruktur, dengan tenang menjawab pertanyaan Aini.

“Coba apa saja yang telah dilaksanakan mbak …Eee… Aini ya?”, Ismail menyebut nama Aini setelah melihat name tag di dada Aini.

5W satu H. What, Where, Why, When, Who dan How. Semua sudah tak coba uraikan tapi tetep macet juga mas”, jawab Aini lugu. Peserta lain sudah mulai senyum-senyum, mungkin merasa senasib.

“Terus apa lagi yang mbak lakukan?”

Aku juga sudah mencoba memotret obyek-obyek yang kuanggap bisa membuat aku punya ide menulis. Setiap obyek foto yang kubuat sudah kuberi nama sesuai kejadiannya, agar memudahkan aku mengingat kapan foto itu diambil dan dalam rangka apa….”, Aini berhenti sebentar dan memperhatikan raut muka teman-teman sepelatihan yang melihat dirinya dengan penuh senyum.

“Terus ….”

“Kemudian kupandangi foto itu satu demi satu di komputerku, tapi ide menulis tidak juga muncul. Aku malah kepikiran yang lain-lain…”

“Ooo… kepikiran apa itu mbak?”

“Ya misalnya saat melihat foto anjingku, aku malah kepikiran kucing tetangga yang kemarin terlindas mobil gara-gara dikejar sama anjingku”

“Kemudian apa lagi…”

“Ya itu tadi mas, sudah sejam duduk di depan komputer, tidak ada satupun yang kuketik di blogku”, peserta pelatihan mulai mengganti senyumnya dengan ketawa tergelak-gelak

“Jadi selain melihat foto, apalagi yang mbak Aini kerjakan?”, Ismail sambil menahan senyum terus mencoba berinteraksi pada Aini. Ini memang tugas pokok seorang instruktur, melakukan komunikasi dua arah yang intens, sehingga semua peserta, tanpa kecuali, merasa dihargai.

“Kebanykan ya melihat foto itu mas. Malah jadi cekikikan sendiri, karena jadi inget kejadian yang lain”

“Apa itu misalnya..?”

“Misalnya waktu lihat foto ayamku, malah jadi inget ketika makan ayam goreng tulang lunak. Waktu itu kita rebutan sampai nasinya tumpah kemana-mana”, Aini menjawab pertanyaan Ismail dengan senyum simpulnya.

Meledaklah kelas itu mendengar gaya Aini menjawab pertanyaan Ismail. Lugas dan lugu.

Setelah kelas mereda, maka Ismail kembali ke depan kelas dan bertanya pada para peserta pelatihan.

“Ada yang bisa bantu mbak Aini menulis blog. Silahkan tunjuk jari dan sampaikan idenya untuk mbak Aini”

Para peserta pelatihan yang masih tertawa geli saling bersahutan menyampaikan saran tapi tidak didengarkan oleh Ismail, karena Ismail ingin ada ynag mengacungkan jari tangan.

Akhirnya Ajizlah yang mengacungkan tangan.

“Wow… blogger cilik mau ngasih ide? Tepuk tangan semua untuk adik cilik ini”, Ismail kelihatan senang karena yang mengacungkan jari justru adalah seorang anak-anak.

“Tepuk tangan sekali lagi buat mas …AJIZ!”

“Oke mas, apa idenya?”

Dengan mata beningnya, Ajiz menjawab,”Mbak Aini cukup menulis apa yang diceritakan pada pak Ismail tadi dalam blognya”

Pak Dhe tersenyum simpul di samping Ajiz. Luar biasa anak kecil ini. Suatu ide yang biasa-biasa saja, tapi jadi bermakna karena disampaikan dalam forum yang pesertanya sebagian besar orang yang sudah dewasa.

Ajiz telah menunjukkan dirinya sebagai seorang anak kecil dengan hati yang bening dan semangat yang tak kenal padam. Selalu menyala biarpun hari sudah sore.

Pelatihan blog hari ini membuat pak Dhe kembali bersyukur telah diberi hari yang hebat oleh Sang Maha Kasih.

=======
Artikel terkait.
Caraku menulis Blog [1] : Menulis dan teruslah menulis
Caraku menulis Blog [2] : Saat Kehabisan Ide
Blog Anak Klas 3 SD
Tips belajar ngeblog
Dandani Blogmu Sebelum Datang Tamumu
Caraku menulis blog [4]

Pak Dhe belum memilih [12]

“Poster-poster Caleg ini kita bersihkan saja dari lingkungan kita pak Dhe. Pandanganku sumpek melihat wajah-wajah caleg yang selalu tersenyum di saat perlu saja, seperti saat ini”, seperti biasa Khalid pasti langsung pada pokok permasalahan.

“Iya pak Dhe. Baliho partai XXX yang gedhe itu bahkan kemarin jatuh sendiri, gara-gara masangnya nggak bener. Untung nggak ada yang celaka gara jatuhnya baliho itu”, timpal Udin.

“Kenapa ya para petinggi partai tidak melihat kondisi ini. Mereka kan orang-orang pinter. Seharusnya mereka tahu, pemasangan atribut partai yang tidak bener dan asal tempel itu jelas merusak keindahan, merusak lingkungan bahkan merusak budaya kita”

Seperti biasa, pak Dhe selalu menanggapi semua berondongan dari para pemuda mushola dengan senyum khasnya.

“Khalid masih inget waktu natalan kemarin?”, kata pak Dhe pada Khalid.

“Lho apa hubungannya pak Dhe. Ya pasti inget donk. Itu kan pesta semalam suntuk di rumah Bang Marpaung”

“Nah, waktu itu Khalid ikut membantu mengatur lalu lintas di depan rumah Khalid. Ikut mengatur parkir, tetapi tetap saja banyaknya mobil membuat Khalid susah memarkir mobilnya sendiri. Belum lagi suara musik yang tidak berhenti sampai larut malam”

“Iya benar pak Dhe”

“Nah, waktu itu meskipun terganggu, tapi Khalid tetap tidak melakukan protes dan melaporkan kebisingan itu ke pak RT”

Khalid mulai menangkap arah pembicaraan pak Dhe.

“Nah, kamu Udin. Waktu lebaran kemarin apa yang dilakukan oleh Pak Kiai Sudrun dan keluargamu?”, pak Dhe berpindah tanya ke Udin.

“Yah, kita adakan acara makan bersama dari pagi sampai malem. Maklum saudara pak Kiai dan juga kenalan pak Kiai sangat banyak. Mereka datang dari segala penjuru kota maupun desa. Keluargaku yang juga banyak malah ikut diundang di rumah pak Kiai, yah karena pak Kiai memang sangat dekat dengan anak-anakku”, jawab Udin.

“Terus apa komentar Bang Silitonga? Apa dia terganggu dengan keramaian tetangga dekatnya itu?”, kata pak Dhe

“He..he…he… pak Silitonga malah nyumbang nyanyi pak Dhe. Dia baru gelagapan ketika disapa oleh pak Kiai Ageng, soalnya pak Silitonga fasih nyanyi lagu arab tapi gak bisa bahasa arab sedikitpun”, kata Udin tertawa kecil.

“Jadi begitulah suasana di republik kita ini. Anggap saja ini lomba masak nasi goreng, jadi ya kita beri kesempatan yang mau ikut lomba untuk menyiapkan diri dengan caranya masing-masing”

“Memang diperlukan tenggang rasa dari semua pihak. Para petinggi partai perlu mengarahkan mesin partainya agar tidak masang atribut partai sesuka sendiri dan diperlukan tenggang rasa dari kita, non partai, bila melihat pemasangan atribut partai yang tidak sesuai dengan aturan. Ini pesta rakyat dan kita sebaiknya ikut berpartisipasi dengan baik dan benar”

“Mereka itu hanya baik di saat seperti ini pak Dhe. Kalau pemilu sudah usai, maka mana mau mereka melihat lagi pada kita. Mereka memberi janji bukan bukti pak Dhe”, Khalid tetap sengit bila membahas partai.

“Pesta, dimana-mana memang perlu tenggang rasa dari semua pihak. Namanya saja pesta, jadi hanya sekali-sekali, tidak tiap hari”

Pak Dhe diam sejenak menanti reaksi pendengarnya.

“Saat ini para calon wakil rakyat sedang memeras otak agar menemukan cara terbaik untuk memajukan republik ini. Mari kita bantu mereka dengan memberi ruang yang cukup. Biarkan mereka menebarkan pesonanya, menebarkan programnya, agar bisa dinilai oleh kita-kita ini. Yang baik kita pilih yang tidak baik ya tidak usah kita pilih”

“Aku golput kok pak Dhe. Tidak haram kan?” Udin bertanya sambi melihat ke Khalid.

“Aku tahu, kamu dan Khalid pelopor golput di pabrik ini. Itu hakmu dan tidak ada yang bisa merubah hakmu itu kecuali kamu sendiri, tapi jangan paksa orang untuk golput. Mereka juga punya hak untuk memberikan suara atau tidak memberikan suara”, kata pak Dhe sambil tetap tersenyum.

Yang penting jangan sampai partai itu membuat kita terkotak-kotak. Jangan sampai persaudaraan kita, pertemanan kita, kekerabatan kita tergangu oleh pesta yang hanya sesaat ini. Kita bisa toleransi dengan umat lain tentu bisa juga toleransi dengan sesama penduduk Indonesia”

“Pak Dhe sendiri milih partai mana ya?”, penasaran Khalid bertanya ketika melihat pak Dhe beranjak dari duduknya menuju ke ruang wudhu.

“Jangan-jangan pak Dhe milih partai cerdas yang suka kampanye mengatas namakan Islam itu ya?”, Udin ikut beringsut mendekati pak Dhe.

Pak Dhe menepuk-nepuk pundak Khalid ketika dia berkata, “Aku perlu sholat tahajud dulu di malam menjelang hari “H”, agar ditunjukkan pilihan yang paling cocok untuk Indonesia. Semua kontestan baik, sehingga aku perlu meyakinkan diriku dengan bertanya pada yang Maha Tahu.”

Khalid manggut-manggut dan mulai berpikir untuk mengikuti saran pak Dhe.

“Golput itu pilihanku, tapi aku juga bebas berubah pikiran”, pikir Khalid sambil tersenyum cerah.

Khalid memilih PS [11]

“Akhirnya aku punya pilihan nih, PRABOWO GERINDRA”, kata Khalid saat kumpul-kumpul makan siang di kantin.

“Lho?”, Udin yang baru menyeruput minuman jadi membatalkan minumnya.

Iya mas Udin, Prabowo sudah makin dekat dengan kita nih. Dia udah ngeblog“, kata Khalid dengan penuh semangat.

Bukannya kemarin baru saja mendukung Deddy Mizwar? Kok kayak esuk dele sore tempe mas Khalid?“, sahut Anang yang ikut penasaran.

“Ternyata Deddy nggak punya blog jadi saya putuskan memilih Prabowo saja”, kata Khalid enteng.

“Emang apa kelebihan capres yang blogger dibanding yang nggak blogger mas?”, Anang terus bertanya.

“JK juga ngeblog lho mas? Jadi yang jadi presiden yang mana mas? JK atau PS?”, Udin mencoba menggoda.

“Sebenarnya mas Khalid ini kader PKS atau kader non partai sih?”, yang lain ikut bertanya sehingga membuat Khalid bingung mau menjawab pertanyaan yang mana.

Akhirnya setelah menenangkan diri sambil menghabiskan satu suapan, Khalid menjawab,”Tak klarifikasi ya, pertama aku bukan kader PKS, aku cuma simpatisan saja, jadi boleh dong berbeda pendapat dengan PKS”

Khalid diam sejenak, melihat reaksi kawan-kawan yang semeja dengan dia, kemudian melanjutkan.

“Kedua, aku anggap blogger adalah seorang penulis yang menyuarakan hal baik dan benar untuk orang baik dengan cara yang baik, jadi aku selalu respek terhadap mereka yang suka berbagi ilmu tanpa pernah mengharap balasan”

“Mas ada blogger yang ditangkap …”, Anang langsung menyahut, tapi belum selesai ngomongnya sudah dipotong oleh Khalid.

“Tunggu dulu Nang, tak selesaikan dulu pernyataanku…”

Setelah melihat kawan-kawannya melanjutkan suapan masing-masing, Khalid melanjutkan.

“Deddy Mizwar ternyata kurang didukung oleh para sahabatnya. Mereka lebih suka Deddy sebagai Jendral Naga Bonar dibanding sebagai capres. Mereka juga lebih suka melihat Deddy memperbanyak sinetron ruhani, agar bangsa ini tercerahkan dan tidak tenggelam dalam sinetron hantu atau sinetron remaja yang menjual mimpi-mimpi”

“Jadi aku tidak esuk dele sore tempe. Semuanya melalui pemikiran yang mendalam. Aku sampai sholat malam untuk memutuskan hal ini”

Ketika semua orang tetap diam sambil menyelesaikan makan mereka, Udin mulai bertanya lagi,”Terus soal JK dan PS yang sama-sama jadi blogger, yang mana yang jadi presiden?”

“Nah ini bedanya dukunganku terhadap PS dan JK”, senyum mengembang di bibir Khalid ketika mengucapkan hal ini.

“Aku tetap memilih PS sebagai calon presiden yang akan kucoblos di coblosan nanti”

“Contreng atau coblos mas?”, canda Udin

“JK sudah pernah jadi wapres, SBY ataupun Mega juga pernah jadi pengurus republik ini. Sebaiknya mereka istirahat ngurusin pemerintah kita dan beri kesempatan pada calon lain untuk mengurusin negara ini. Kita lihat nanti hasilnya”, Khalid terus bersemangat.

“Mas Khalid, masak ngurusin negara kok pakai coba-coba. Ini negara besar lho mas, kalau dipimpin oleh orang yang nggak jelas kan malah bisa makin nggak karu-karuan” Anang mencoba mengingatkan Khalid.

“Sudah baca belum Kompas hari Sabtu 7 Maret 2009 di kolom partai. Ada tulisan menarik tentang Muslih ZA di situ. Pemerintah kita ini sudah gagal total mengurusin negeri ini. Korupsi makin berkualitas, hutang makin menumpuk dan masih banyak lagi”, Khalid makin semangat menjawab pertanyaan Anang.

“Lah itu kan iklan mas? Belum tentu yang dibilang pak MZA itu bener lho.Pemerintah kita saat ini gak jelek-jelek amat kok. Akupun masih memilih SBY sebagai capres 2009 ini“, Adul yang dari tadi diem rupanya mulai terusik.

“Oke-oke, aku baca Kompas hari ini dan aku salut dengan partainya mas MZA yang lebih suka kampanye dengan model door to door dan tidak mengotori jalan-jalan dengan baliho ataupun poster-poster caleg yang bikin eneg, tapi kita kembali ke topik Prabowo saja ya…”, sahut Anang

Inget pesen pak Dhe, kita boleh berbeda pendapat tapi jangan sampai membiarkan partai ini membuat kita menjadi terkotak-kotak“, Khalid makin tersenyum ketika menyuarakan pesen pak Dhe ini.

“He..he..he.. mas Khalid lho yang memulai”

“Kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji ….”

“Kau yang mengingkari……”

Merekapun melanjutkan acara makan siang itu dengan tetap tersenyum. Perdebatan partai hari ini tidak jadi memanas karena telah diakhiri sebelum mulai tersiram minyak emosi. Seperti biasa, tak ada kesimpulan dari diskusi di kantin ini, karena kesimpulan sudah ada di masing-masing peserta diskusi.

Setengah berbisik Khalid berkata pada Udin,”partainya mas MZA kayaknya bagus juga ya, fokus pada ekonomi rakyat dan tidak gembar gembor kesana-kemari”

Tanpa berbisik, Udinpun menjawab,”Pembicaraan partai sudah tutup, jadi kita ke mushola dulu aja yuk. He..he..he.. aku belum sholat je…”

“Oh ya… sudah baca blognya mas eshape belum? Di pollingnya Golput bisa 25% lho. Jangan-jangan kita asyik berdiskusi tentang partai tapi gak ada yang datang di bilik suara”

Tertawa berderai di kantin dan obrolan para politikus klas kantin itupun berakhir.


Merokok [gak] Haram kan? [10]


“Pak Dhe, sebenarnya merokok itu haram nggak sih?”, pertanyaan Udin langsung menuju sasaran. Pak Dhe yang sedang mengeluarkan sebungkus rokok jadi tersenyum.

“Iya pak Dhe, fatwa MUI bahwa merokok itu haram telah merugikan warung mbok Sastro. Sekarang orang pada mikir kalau mau beli rokok disitu”, timpal Khalid.

“Tahu nggak pak Dhe, pak Kiai Sudrun yang tinggal di depan warung mbok Sastro sekarang jadi galak banget gara-gara keluarnya fatwa haram merokok itu”, kata Udin mendukung pernyataan Khalid.

“Kemarin seorang anak kecil ditempeleng tuh ama pak Kiai, gara-gara dia beli rokok di warung dan langsung disulut di depan pak Kiai”, kata Udin melanjutkan.

“Memang kalian dengar fatwa MUI itu darimana?”. Pak Dhe sambil tetap tersenyum mulai ganti bertanya.

“Iya pak Dhe, semua orang sudah tahu itu. Gak perlu tahu darimana berita itu berasal.Berita itu sudah menjadi milik publik pak Dhe”, jawab Udin.

“Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan rokok bagi anak, ibu hamil dan di tempat umum. Apa benar begitu?”, kata pak Dhe.

“Iya ‘kali pak Dhe. Aku juga cuma dengar-dengar kok”, jawab Khalid.

“Nah, apa salahnya dengan fatwa itu? Kalau memang ada salahnya, mari kita luruskan”, kata pak Dhe sambil membolak-balik kotak rokoknya.

“Merokok dan tidak merokok adalah hak individu seseorang. Begitu juga hak tubuh terhadap kesehatan. Seorang anak yang merokok jelas tidak jelas manfaatnya”, kata pak Dhe melucu, tapi Udin dan Khalid tidak menangkap kelucuan itu.

Mereka terlalu serius mendengar jawaban pak Dhe. Apalagi ketika pak Dhe mulai bercerita tentang manfaat dan mudharat rokok, maka merekapun manggut-manggut.

“Saat ini rokok telah banyak mendatangkan pendapatan bagi negara, demikian juga memberikan kontribusi ketidak sehatan pada para perokok, baik pasif maupun aktif.”

“Banyak orang menggantungkan hidupnya pada rokok dan begitu juga banyak orang yang menyerahkan nyawanya untuk rokok”

“Pak Dhe dulu perokok juga, tapi sekarang aku cukup memegang bungkus rokok saja sudah puas. Jadi mari kita puaskan diri dengan hal-hal yang tidak merugikan diri sendiri maupun -apalagi- orang lain. Mari kita dukung segala usaha untuk memperbaiki kualitas hidup kita maupun kualitas lingkungan kita”

“Tapi sebenarnya merokok itu gak haram kan pak Dhe?” tiba-tiba Edi nimbrung.

“He..he…he… kamu masih merokok ya Ed? Memang di Al Quran tidak ada ayat yang menunjukkan secara jelas bahwa merokok itu haram. Jadi kalau kamu memakai dasar itu sebagai pembenaranmu untuk merokok, ya silahkan saja. Kalau kamu hanya sampai tingkat makruh, ya yakinilah kalau itu adalah pendapat yang benar”

“Seorang ulama yang memutuskan bahwa merokok itu makruh tentu harus dihargai. Ilmunya yang tinggi tentu sudah dipakainya untuk dasar mengeluarkan fartwa merokok itu makruh atau haram. Jadi kita ikut aliran yang menurut kita paling benar saja, kecuali kalau kalian memang berniat jadi ulama, sehingga punya cukup ilmu untuk menentukan makruh atau haram”

“Jadi silahkan tentukan sendiri merokok itu boleh, makruh atau haram. Aku mau wudhu dulu”, pak Dhepun ngeloyor meninggalkan diskusi itu.

“Jadi Rokok gak haram pak Dhe?”, Edi masih mengejar pak Dhe dengan pertanyaannya.

“It’s up to you”, kata pak Dhe sambil tersenyum.

“Kalau pendapat pak Dhe sendiri?”, penasaran, Udinpun ikut mengejar pak Dhe dengan pertanyaannya.

“Aku sudah tidak merokok karena melihat manfaat dan mudharat merokok itu terhadap diriku dan lingkunganku. jadi aku tidak sepakat kalau ada orang yang menganjurkan merokok agar pajak negara makin tinggi”, pak Dhe menjawab sambil terus menuju tempat wudhu.

“Ihh… kali ini pak Dhe muter-muter ya njawabnya. Menurutku pak Dhe pasti menganggap merokok itu haram dan mengharap para pekerja yang bekerja di pabrik rokok untuk cari pekerjaan lain.Iya kan pak Dhe?” Udin terus mengejar pak Dhe yang sudah sampai ke tempat wudhu.

“Sudah adzan tuh, ayuk wudhu”, ajak pak Dhe, sambil mengambil air wudhu

Siang itu, sehabis sholat Dhuhur, di depan mushola, para pecinta rokok terus berdebat dengan mereka yang anti rokok.

Sementara itu pak Dhe memasang stiker “No Smoking” di kaca mushola.

sumber gambar disini dan disini

Pak Dhe : Rejeki Halal [9]

“Horeee…. aku dapet seribu lagi…”, suara Ajiz menyambut kedatangan pak Dhe

“Hahahahaha….. apa lagi ini?”, tergelak pak Dhe menerima pelukan dari Ajiz, ponakannya yang lucu dan imut-imut.

“Iya pak Dhe, aku tadi siang dapet seribu lagi dari penggemarku..”, suara bening Ajiz begitu nyaman di telinga pak Dhe.

“Ayo, coba ceritain gimana dapet duitnya”, sambil menurunkan Ajiz dari bopongan pak Dhe mengajak Ajiz ke ruang tamu.

“Yang pertama, Ajiz sudah pastikan kalau ini halal!”, Ajiz mulai bercerita dengan semangat.

“Lalu?”

“Nah, tadi siang, saat istirahat sekolah, aku menggambar cerita di buku tulisku. Kawan-kawanku juga ikut nggambar di buku masing-masing”

“Terus…”

“Nah, akhirnya kawan-kawanku kehabisan ide. Kemudian mereka mendekatiku dan melihat gambar-gambar yang kubuat di buku tulisku”

“….”

“Nah, Lutfi minta aku gambar lagi yang lain. Akupun menawarkan pada Lutfi, gambar apa yang dia mau, kemudian kugambar permintaannya. Eh habis itu dia ngasih aku uang seribu”

“Terus….?”

“Ya kupakai jajan uang itu. Habis aku lapar banget dan gak bawa uang jajan”

Pak Dhe tertawa terpingkal-pingkal ketika Ajiz menunjukkan gambar-gambar di buku tulisnya. Gambar-gambar yang tidak beraturan letak dan bentuknya itu, ternyata ketika “dibaca” oleh Ajiz menjadi suatu rangkaian cerita yang sangat menarik.

Itu adalah cerita gambaran kejadian sehar-hari dengan tambahan fantasi yang diambil dari film ataupun TV.

“Pak Dhe… Nanti kalau pemilihan capres, pak Dhe milih siapa?”

Halah…

Ini lagi. Anak kecil kok sudah mikir pemilu. Darimana mereka pada kesengsem dengan Pemilu. Mengapa sih iklan pemilu ada dimana-mana, sehingga yang tidak dibidikpun ikut terbawa dalam arus pemilu ini.

“Pak Dhe milih yang paling baik nak”

“Siapa yang paling baik, pak Dhe?”

“Tuhan..!”

Ajiz memukul pundak pak Dhe yang ngeloyor menuju kamar mandi.

Saat menutup pintu kamar mandi, masih sempat pak Dhe mendengar suara Ajiz.

“Besok minta uang jajan sekolah ya pak Dhe. Biar kalau dapet duit lagi, bisa dimasukkan ke infak”

Sambil mengguyurkan air di tubuhnya, pak Dhe asyik melamun.

Ternyata masalah halal sudah menjadi dasar semua kegiatan yang dilakukan oleh Ajiz. Ini persis yang disampaikan oleh kawannya beberapa hari lalu. Pak Muslim, kawan pak Dhe itu, dengan tegas menolak adanya uang suap dalam bisnisnya.

Risiko kehilangan order sudah disiapkan pak Muslim karena tidak adanya “uang suap” dalam melicinkan order yang dia terima.

Yang meminta uang suap juga sangat menyesalkan sikap pak Muslim. Uang suap yang hanya beberapa ratus ribu rupiah sangat tidak sebanding dengan nilai orderan yang ratusan juta rupiah, tapi ternyata pak Muslim tetap “kekeh”, teguh dengan pendiriannya.

Ada suap, bisnis putus, tak ada uang suap, mari kita lanjutkan [bukan lanutan].

Ternyata orderan yang diproses pak Muslim sukses. Yang meminta uang suap dari pak Muslim agaknya terkesan dengan sikap pak Muslim dan terus memproses orderan itu.

Di akhir proses transaksi, pak Muslim menyumbang dana pembangunan fasum di tempat sang peminta uang suap dengan jumlah yang berlipat-lipat dibanding jumlah uang suap.

Merekapun saling berpelukan, mensyukuri pertemanan yang hampir saja hilang gara-gara uang suap.

Pak Dhe milih Dedi [8]

Dul, lu jadi milih Bang Deddy Mizwar?”

“Jelas donk, siapa lagi yang bisa dipilih bang?”

“Kenapa sih milih bang Deddy?”

“Yah.. abang ini. Selama ini kita sudah sering milih aktor politik yang hanya bisa bikin janji tapi giliran ngasih bukti, he..he..he.. dia malah ngomong yang lain. Cape’ deh…”

“Emang kalau bang Deddy bisa ngasih bukti?”

“Lho, aktor poltik aja udah nggak bisa ngasih janji apalagi aktor beneran, ya lebih banyak janjinya donK. Ha…ha..ha..ha…”

Berderailah tawa para pemuda yang nongkrong di kantin itu. Pembicaraan tentang politik memang hampir selalu mewarnai suasana makan siang di kantin. Apapun topik obrolannya, akhirnya masuk juga ke ranah politik.

Karena yang terlibat dalam obrolan adalah orang yang buta politik, maka analisanyapun dijamin awur-awuran. Analisa yang ngalor ngidul itu justru menjadi bumbu penyedap topik pembicaraan. Apalagi ketika Udin yang kocak ikut bergabung. Obrolan terasa makin renyah.

Namun obrolan yang makin penuh canda tentang pencalonan Deddy Mizwar tiba-tiba berhenti ketika sosok laki-laki berkaca mata minus masuk ke kantin.

“Hey.. kok tiba-tiba berhenti ngobrolnya. Dari luar tadi kudengar rame banget ketawanya?”, kata lelaki itu.

“Ngga apa-apa Bang, ini kawan-kawan tadi baru ngobrolin pak Dhe”, jawab Ade sekenanya.

“Gak biasanya kalau ngobrol tentang pak Dhe kalian bisa ketawa begitu lepas. Biasanya kalau ngobrol tentang pak Dhe pasti masalah mushola atau masalah serikat pekerja, nggak pernah sampai pakai ketawa kayak tadi”, penasaran sang lelaki itu kembali mengejar dengan pertanyaan yang membuat suasana jadi hening dan peserta obrolan siang di kantin itu jadi serba salah.

“Gini mas Khalid, yang kita obrolkan memang bukan pak Dhe kita tetapi pak Dhe..di Mizwar”, akhirnya Udin yang angkat bicara, karena melihat teman-temannya pada celingukan

“Memang kenapa dengan Deddy Mizwar? Bukankah boleh dia mencalonkan diri?”, Khalid kembali bertanya.

Obrolan jadi terasa berat, karena materi obrolan adalah ranah politik yang diobrolkan oleh orang yang ngefans dengan seseorang capres dan peserta obrolan lainnya adalah mereka yang semi-semi golput.

“Apa kalian tidak paham dengan kondisi Indonesia saat ini yang carut marut. Apa kalian tidak paham dengan kelakuan para politikus yang wajahnya terpampang dimana-mana dan janjinya juga sudah kemana-mana

“Para politikus itu tiap pemilu selalu menebar janji tanpa ada bukti dan mereka selalu memperbarui janji mereka, setiap pesta rakyat ini datang lagi”

“Lalu apa sih yang diharapkan dari mereka?”

Berapi-api Khalid menyampaikan pandangan politiknya. Sementara para pendengarnya sudah kehilangan selera untuk ber”haha-hihi” dengan topik politik. Mereka ingin mendebat Khalid, tapi mereka sadar bahwa perdebatan yang terjadi bisa saja mengarah ke debat kusir, perpecahan bisa muncul di kelompok yang tadinya kompak ini.

Khalid baru berhenti bicara ketika pak Dhe memasuki kantin untuk makan siang. Biasanya, kalau sudah begini para pengobrol itu sudah mulai “cabut” dari kantin dan ngeloyor kemana-mana. Mereka rata-rata sungkan kalau ketawa terlalu lepas di depan pak Dhe.

Pak Dhe sendiri tidak seperti biasanya, dia tidak langsung pesan makan tapi malah mendekati kerumuman para pengobrol.

“Assalamu’alaikum”, sapa pak Dhe lengkap dengan senyum khasnya.

“Wa’alaikum salam”, serempak para pengobrol menjawab.

“Nanti malem, pulang kerja sampai menjelang maghrib akan ada ngobrol-ngobrol tentang pencalonan Mas Dedi sebagai pimpinan kita. Ada yang tertarik ikut?”

Terperangahlah mereka dengan undangan pak Dhe. Begitu hebatnya pengaruh Deddy Mizwar, sehingga seorang pak Dhe yang tidak jelas partainya ternyata akhirnya mengajak diskusi tentang Deddy Mizwar.

Pak Dhe biasanya hanya mau berdiskusi tentang kemaslahatan umat atau tentang memakmurkan mushola perusahaan dan selalu jauh dari hiruk pikuk politik, kecuali saat membahas toleransi terhadap gambar para caleg yang mengotori wajah jalanan.

“Memang siapa yang menggagas pertemuan itu pak Dhe”, Khalid langsung antusias.

“Pak Anton tuh. Aku sih seneng banget ada orang baru yang ikut jadi calon pemimpin kita. Hukumnya wajib didukung”, kata Pak Dhe.

Para pendengar jadi makin bingung dengan sikap pak Dhe. Rasanya ada yang aneh dengan sikap pak Dhe kali ini.

“Jadi pak Dhe mendukung juga ya?”, Khalid langsung bertambah antusias.

“Pasti Khalid. Aku pasti mendukung Dedi. Ha..ha.. dia berani bener tuh mencalonkan diri”, kali ini pak Dhe menebar ketawanya, sehingga para pendengar makin merasa ada yang aneh, tapi tidak bagi Khalid. Rasanya dukungan pak Dhe terhadap Dedi sangat berarti bagi dia.

“Bener pak Dhe mau milih dia?”, lanjut Khalid terus antusias.

“Wah, kalau memilih belum tentu. Aku masih perlu melihat programnya dan harus kubandingkan dengan program calon yang lain. Serikat Pekerja kita kan harus dipimpin oleh orang yang punya program jelas. Biarpun muda kalau Dedi punya program jelas, ya tentu kupilih tapi kalau programnya tidak jelas atau asal bikin sensasi, ya aku milih calon lain yang lebih baik programnya.”, pak Dhe menjelaskan dengan lebih hati-hati, karena dia merasa dikejar oleh Khalid.

“Pak Dhe, sebenarnya yang kita bahas ini Dedi yang mana sih?”, tak sabar, akhirnya Udin ikut bertanya.

“Ya Dedi karyawan bagian audit itu. Memang Dedi yang mana lagi yang dibahas. Rasanya hanya satu Dedi di perusahaan ini.”, pak Dhe balik bertanya.

“Tak kirain pak Dhe mbahas Deddy Mizwar”, kata Udin lega. Ketawapun kembali berderai di kelompok ini. Seperti biasa pak Dhe cukup tersenyum saja memandangi mereka yang sedang tertawa geli.

“Aku makan dulu ya, silahkan diteruskan obrolannya. Sampai ketemu nanti sore. Assalamu’alaikum”, ucap pak Dhe sebelum meninggalkan pembicaraan.

“Wa’alaikum salam”, jawab para pengobrol dengan perasaan masing-masing.

Pak Dhepun ngeloyor ke meja makanan meninggalkan kelompok salah sambung [kayak acara di radio Gen FM aja nih] di belakangnya.

Khalidpun dengan mantap tetap yakin bahwa Indonesia perlu tersenyum menyambut kebebasan berpolitik yang ada saat ini.

Udin dan kawan-kawan juga sepakat untuk memberikan dukungan terhadap pencalonan DM, tetapi belum memutuskan untuk memilih DM. Mereka terisnpirasi dengan dukungan pak Dhe terhadap Dedi calon Ketua Serikat Pekerja perusahaan.

Pilih yang anda sukai dan jangan tergoda janji yang selalu manis di mulut.

Bagaimana menurut anda?

Pak Dhe, calegku kalah! Alhamdulillah [7]

“Calegmu kalah ya Din?”, kata Khalid ketika ngobrol di kantin kantor.

“Iya tuh. Alhamdulillah”, jawab Udin cengar cengir seperti biasanya.

“Kok alhamdulillah? Gak takut dikemplang sama partaimu?”

“Aku tuh dari dulu sudah nyadar, kalau partaiku itu ada yang nggak pas, tapi setiap aku kritisi hal itu, selalu saja aku dicap sebagai provokator. Sekarang jadi jelas semua kan. Coba kalau ternyata partaiku menang, padahal ada yang nggak pas, pasti ujung-ujungnya Indonesia yang akan rugi. Bagaimana tidak rugi kalau negeri ini dikelola oleh wakil-wakil rakyat yang tidak pas. Nah, gimana pendapatmu mas Khalid, hayo?”

“Jalan pikiranmu kok aneh mas Din…”

“Dimana anehnya?”

“Perhitungan suara belum selesai, yang terlihat kalah sudah mulai protes disana-sini, lha mas DIn kok malah bersyukur, apa tidak aneh itu?”

“Ini pembelajaran politik mas Khalid”

“Kita harus menyiapkan diri kita untuk menang maupun kalah. Kalau menang, segera siapkan mental untuk mengelola negara ini dnegan baik dan benar. Ingat mas Khalid, dengan baik dan benar, jangan hanya baik saja atau benar saja, harus dua-duanya”

Khalid terus mendengarkan ceramah gratis dari Udin.

“Begitu juga yang kalah, harus siap untuk mendukung yang menang, jangan malah bikin protes kesana-kemari. Inget juga, jadi oposisi itu juga bukan artinya tidak mendukung pemerintah lho mas Khalid”

“Oposisi yang baik adalah menunjukkan kelemahan sang pengelola negara dan memberikan solusinya, jadi bukan hanya berkoar kesana-kemari menjelek-njelekkan pemerintah”

“Wah… mas Udin dapet dari mana tuh ilmunya”, Khalid mulai bertanya karena “risi” dengan jawaban Udin

“Halah… ini ilmu kacangan saja. Ilmunya orang awam. Bila kita siap menang, maka kita juga harus siap kalah”

“Be a good winner or good looser”, kata Udin sambil ngeloyor pergi

Dongeng Pak Dhe [6]

Pak Dhe berhenti melangkah dari Masjid, ketika serombongan anak-anak menghadangnya di mulut gang.

“Mampir sebentar pak Dhe ke mushola”, rayu rombongan anak-anak itu dengan wajah penuh harap cemas. Khawatir pak Dhe tidak mau menuruti ajakan mereka.

“Wah, besok saja ya ke musholanya. Pak Dhe baru sibuk pagi ini”, jawab Pak Dhe sambil tetap tersenyum.

“Sebentar saja juga boleh kok Pak Dhe. Sebentaaaaar saja….”

“Iya pak Dhe, sebentaaaaar saja…”

Pak Dhe akhirnya luluh juga oleh rayuan rombongan anak-anak yang tidak mudah menyerah ini.

Sambil tersenyum pak Dhe tertawa sendiri dalam hati.

Inilah buah dari ceramah yang sering dia sampaikan ke anak-anak itu.

“Jangan pernah berhenti mengambil kesempatan yang biasanya cuma sempit. Terus berjuang agar kesempatan dalam kesempitan itu menjadi peluang yang baik dalam hidup kalian”

Nah nasehat itu akhirnya dilaksanakan dengan baik oleh anak-anak itu untuk merayu Pak Dhe. Dengan gigih mereka merayu Pak Dhe agar mau mampir ke mushola untuk memberikan ceramah sehabis subuh.

“Memang kalian tadi tidak sholat subuh di Masjid?”, kata pak Dhe begitu duduk di depan rombongan anak-anak yang sudah melingkar di depannya.

“Kita tidak boleh lagi sholat di Masjid pak Dhe. Dilarang sama mas Udin. Diancam lagi”, jawab anak-anak serempak.

PaK Dhe jadi tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban simpang siur dari anak-anak.

“Makanya jangan suka membuat ribut di Masjid. Itu akibatnya”, sungut Andra, anak tertua di antara kelompok anak-anak itu.

Pak Dhe makin tergelak mendengar sungutan Andra dan jawaban anak-anak lain yang tidak mau dianggap sebagai pembuat ribut.

“Oke… Ayuk sekarang kita mulai ceramah pagi ini. Pak Dhe mau ceramah tentang besarnya pahala berbakti pada orang tua. Siapa setuju?”

Semua anak-anakpun serempak menjawab,”Setujuuuuuuu!”

“Tapi jangan lama-lama ya pak Dhe. Kan kita sudah diajar sama Ustadz Imam tentang pahala berbakti pada orang tua”, Andra nyeletuk ketika anak-anak sudah mulai mengambil sikap duduk mendengarkan cermaah pak Dhe.

Pak Dhe jadi tergelak mendengar ucapan Andra.

“Pasti kamu hanya ingin mendengar dongeng pak Dhe setelah ceramah ya?”

Serempak anak-anak bertepuk tangan mendengar ucapan pak Dhe.

“Betuuuul …!!!”

Pak Dhepun mula berceramah tentang pahala berbakti pada orang tua. Gaya cerita pak Dhe yang luwes dan penuh improvisasi selalu membuat anak-anak itu terdiam, terharu, tegang sampai tertawa terpingkal-pingkal.

Suasana makin riuh rendah ketika pak Dhe mengakhiri cermahnya dan menyambungnya dengan cerita lepas.

Bagai tersihir, anak-anak itu mendengarkan cerita pak Dhe. Padahal cerita yangdisampaikan pak Dhe bukan cerita luar biasa. Kebanyakan cerita tentang perjuangan, persahabatan atau keimanan yang dikemas dalam cerita pertualangan. Kentara sekali kalau pak Dhe ini pernah menjadi penggemar Old Shaterhand sekaligus Kho Ping Hoo.

Tokoh yang diambil juga biasanya adalah tokoh yang sehari-hari mereka lihat dengan nama yang asal-asalan diambil oleh pak Dhe.

Cerita-cerita yang biasanya ditemukan dalam buku hadits shahih diolah sedemikian rupa, sehingga seolah-olah menjadi cerita yang terjadi di saat ini.

Pak Dhe selalu tersenyum bahagia setiap mengingat kejadian itu. Sebuah kejadian yang sudah terjadi sekitar dua puluh tahun lalu.

Di hadapan pak Dhe saat ini adalah sepasang pasutri yang baru saja menikah minggu lalu.

Mereka telah lama menunggu di rumah pak Dhe, karena pak Dhe memang sedang ada tugas lembur di pabrik sehingga pulang terlambat.

Pak Dhe hanya melihat sebuah mobil mewah di depan rumahnya dan ketika dia masuk rumah, sepasang pasutri itu sudah menunggu di ruang tamu, sambil berbincang dengan BuDhe.

“Pak Dhe masih kenal kan dengan kita?”, kata lelaki muda itu sambil menyalami pak Dhe.

“Ha..ha..ha.. siapa ini ya? Dimana aku kenal?”, pak Dhe merasa ada guratan di wajah laki-laki itu yang dikenalnya, tetapi pak Dhe lupa kenal dimana.

“Bulan lalu kami kirim undangan pernikahan kami ke Pak Dhe, tapi pak Dhe pasti tidak bisa datang karena jauh. Jadi kami memang sudah merencanakan untuk datang ke rumah pak Dhe setelah kami menikah”

“Oalah….. ini Andra ya? Andra and the Back Bone ya?”, pak Dhe sampai keluar air matanya ketika mengguncang-nguncang bahu Andra yang terlihat sangat bidang.

“Iya pak Dhe. Seperti yang selalu pak Dhe bilang, bahwa kita harus selalu ingat pada orang tua kita, jadi harini kami datang sebagai anak-anak pak Dhe”, jawab Andra di sela-sela isyak tangisnya.

Dua puluh tahun lebih tidak berjumpa dan Andra tidak kuasa menahan isak tangis ketika berjumpa dengan tokoh idolanya di masa kecil dulu.

Pembicaraanpun jadi sangat hangat. Bu Dhe ikut menimpali disana-sini sambil seskali ke masuk belakang untuk mengambil makanan atau minuman.

“Jadi ini istrimu ya Ndra?”

“Bener pak Dhe, seperti yang selalu pak Dhe bilang. Andra telah berhasil mencari cewek yang buta, lumpuh dan bisu”

“Alhamdulillah. Kamu masih ingat cerita itu ya?”

“Iya pak Dhe. Buta terhadap pandangan yang tidak baik. Lumpuh, karena tidak bisa pergi ke tempat-tempat maksiat dan Tidak bisa bebricara dengan kata-kata yang menyakitkan hati”.

Wajah bahagia dan puas terpancar dari wajah Pak Dhe. Capek kerja lembur hari ini seperti tidak dirasakan lagi. Pertemuan denga mantan anak didiknya yang sudah menganggap dirinya sebagai orang tua kedua, karena orang tua aslinya sudah meninggal membuat pak Dhe seperti mempunyai kekuatan baru.

Pembicaraan terus berlangusng dengan hangat sampai akhirnya waktu yang membuat Andra harus berpamitan.

Sebelum pamitan, Andra menyerahkan sebuah kartu nama.

“Pak Dhe ini titipan dari komunitas kami. Silahkan pak Dhe memilihnya atau tidak memilihnya”

Sekilas pak Dhe melihat di kartu nama itu ada gambar yang sering muncul di televisi.

“Hmmm …… ini kampanye Ndra?”

“Benar pak Dhe, tapi saya tidak berharap pak Dhe memilihnya, karena Andra yakin pak Dhe pasti sudah punya pilihan. Ini hanya menjalankan amanah partai pak Dhe”

“Hmmm kamu tambah bijak sekarang Ndra”, senyum pak Dhe sambil menerima kartu nama itu.

“Semua karena pak Dhelah”, sambut Andra dengan senyum ala pak Dhe.

“Oke terima kasih Ndra atas kartu nama ini. Aku akan coba berpikir sampai hari terakhir pemilihan. Aku juga masih belum menentukan pilihan siapa yang mesti kupilih”

Di Tengah Malam, pak Dhe mencoba berdialog dengan Sang Maha kasih, semua ucapan syujkur mengalir dari mulut pak Dhe atas semua yang telah dia terima dariNya.

Bibit yang dia tanam rupanya sebagaian telah berbuah menjadi buah yang manis.

“Alhamdulillah”

””’

Artikel Pak Dhe yang lain

Prabowo OK
Senyum Untuk DM
Bongkar Atribut Partai
Kesedihan Pak Dhe
Keceriaan Pak Dhe
Gertakan Obama
Runtuhnya Israel
Tolonglah Pak Dhe
alhamdulillah calegku kalah

Pilihan Pak Dhe [5]

Rusdi membolak balik halaman brosur ponsel black berry di tangannya. Rasanya semua tulisan yang ada sudah dibacanya semua, tetapi masih juga dia baca kembali.

“Jadi kau beli BB Rus?”, kata Khalid akhirnya memecah kesunyian di lobby hotel GM.

“Iya Bang, kayaknya aku harus beli deh. Cuma aku memang masih ada satu kendala..”

“Hmm…”, Khalid menunggu Rusdi melanjutkan ucapannya yang seperti sengaja dihentikannya, sambil kembali membolak balik brosur di tangannya.

“Aku harus bilang apa sama istriku. Dia pasti menanyakan dari mana aku dapat uang untuk beli BB ini”, lanjut Rusdi

“Kan pak Dhe yang ngasih. Jadi buat apa dirisaukan. Istrimu juga kenal pak Dhe dengan baik. Istrimu juga tahu, pak Dhe paling sayang sama kamu dibanding aku ataupun Udin”

“Disitulah masalahnya Bang”, kata Rusdi

“Lho dimana masalahnya?”

“Mana mungkin istriku percaya kalau pak Dhe ngasih aku uang untuk beli BB. Darimana pak Dhe punya uang untuk beli BB, sangat tidak masuk akal Bang”

“Pak Dhe kan hanya satpam, mana mungkin dia punya uang untuk beli BB. Pasti istriku jadi curiga Bang. Belum lagi kalau aku jadi punya BB, darimana aku harus beli pulsa untuk berlangganan”

“Emang gimana sih cerita sebenarnya?”, Khalid jadi

Rusdipun mulai ceritanya.

Tanpa hujan tanpa angin, tiba-tiba Rusdi didatangi pak Dhe dan diajak ikut pertemuan di hotel GM. Disana akan ada orang jual hape BB dan pak Dhe akan beli satu biji, kemudian pak Dhe minta Rusdi yang milih jenis hapenya, karena hape itu nantinya memang akan dipakai Rusdi artinya dihadiahkan ke Rusdi.

“Nah, apa ada orang percaya dengan cerita ini Bang?”

Khalidpun jadi makin bingung. tak tahu harus memberi saran apa lagi. Ketika dia tadi ketemu Rusdi di hotel ini saja dia udah bingung, ternyata Khalid kemudian semakin bingung dengan cerita yang disampaikan Rusdi.

“Hei… ada Khalid disini. Asslamu’alaikum..”

Khalid dan Rusdi kaget, ketika tiba-tiba pak Dhe muncul dan langsung menyapa dengan gaya khasnya. Senyum yang tak pernah bisa lepas dari bibirnya.

Rusdi makin kaget, karena di belakang pak Dhe terlihat pak Anton yang menenteng sebuah tas, juga dengan senyum khasnya.

Anton meletakkan tas bawaannya dan kemudian menyalami Rusdi dan Khalid.

“Sudah lama mas Rusdi?”, sapa Anton hangat.

Terbata-bata Rusdi menjabat tangan Anton, sambil menjawab sekenanya,”Sudah pak..eh baru saja, belum lama pak”

Bukan Anton kalau tidak bisa membuat suasana kaku Rusdi menjadi suasana yang cair. Langsung saja Anton memimpin obrolan di lobby itu dengan gaya khasnya.

Pandangan mata yang penuh persahabatan dan tepukan di pundak Rusdi membuat kebekuan Rusdi hilang begitu saja.

“Nah, begini Rus. Ehem..hmm..hmmm”, sedikit terbatuk-batuk pak Dhe gantian memulai pembicaraannya.

“Sudah saatnya kamu punya ponsel yang cerdas dan karena mulai minggu depan kamu akan dipindah ke bagian IT di kantor yang lain, maka malam ini marilah kita syukuri kenaikan jabatanmu itu”

Rusdi sampai terlongong-longong mendengar ucapan pak Dhe. Isu itu ternyata benar adanya. Selama ini dia tidak pernah bermimpi akan menjadi kepala bagian IT, apalagi di kantor induk yang lebih bonafide.

Selama ini Rusdi bekerja sesuai apa yang harus dikerjakannya, namun Rusdi selalu siap untuk membantu bagian lain, meskipun itu bukan bagian dari tugasnya. Rusdi selalu memberi lebih dari yang seharusnya dia berikan.

Semua tugas, apapun itu, selama dia sanggup mengerjakannya, selalu dia selesaikan di hari-hari kerjanya. Rusdi tak suka kerja lembur namun semua pekerjaan sesulit apapun ternyata dapat diselesaikannya di hari kerjanya.

Anton, Kepala Pabrik tempat Rusdi bekerja, mengulurkan tangannya, menyalami Rusdi yang masih terlihat kebingungan.

“Kita akan berpisah, tapi kita masih satu perusahaan, jadimasih ada saat bertemu. Ini hanya hadiah kecil dariku. Sengaja pak Dhe memilih tempat ini agar cocok dengan hadiah yang kuberikan”

Tas berisi ponsel BB itupun berpindah ke tangan Rusdi.

“Ini pasti jadi hari yang aneh bagimu, tapi itulah ide Sinta, istrimu sendiri”, tergelak pak Dhe ketika mengucapkan kalimat ini.

“Dasar istrimu itu tergila-gila dengan acara tivi, jadi ketika tahu rencana ini, maka idenya langsung jalan”

“Nah, masih ada lagi yang mau ditanyakan Rus?”, Anton mengakhiri tertawanya dan mengajak Rusdi meninggalkan lobby hotel.

“Kenapa pak Dhe memilih pertemuan di hotel ini pak? Biasanya pak Dhe kan kalau mengadakan syukuran selalu di mushola atau paling jauh di warung kepala kambing Bang Khalid”

“Kamu itu sudah dibilang ini idenya Sinta kok, pak Dhe hanya memilih orang yang tepat tapi soal tempat itu pilihan istrimu”

Rusdi makin terpaku tak bisa bicara ketika meninggalkan lobby dan masuk ke cafe, ternyata semua teman di pabrik sudah nungguin di ruangan itu.

“Hepi berde tuyu bang Tusdi”, Udin memulai ucpaan ulang tahun buat Rusdi dilanjutkan semua kawan-kawannya.

Ucapan ultah terakhir diterima Rusdi dari istrinya. Rapat erat Rusdi memeluk istrinya, seolah ingin menumpahkan semua perasaan yang telah mengharu birukan dirinya sepanjang beberapa jam ini.

Dengan lembut istrinya berbisik di telinga Rusdi,”Teman-temanmu belum pernah ke cafe ini, mereka selalu mimpi-mimpi untuk makan disini, jadi jangan lupa bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada pak Dhe yang telah memilihkan semua ini untukmu Bang”

Pertanyaan kembali muncul di benak Rusdi,”Sebenarnya yang memilihkan acara ini siapa sih…?”

Solusi Pak Dhe [4]

“Kita tidak bisa menunggu Obama ngomong dulu, baru bergerak pak Dhe. Ini sudah sangat darurat. Tidak bisa ditunda-tunda lagi”, begitu kata Andre berapi-api pada Pak Dhe.

“Tidak bisa. Kita perlu memastikan dulu pendapat Obama tentang masalah Palestina. Selain itu kita juga perlu tahu apa yang dibutuhkan Palestina saat ini”, sergah Khalid sebelum pak Dhe menjawab pernyataan Andre.

“Lho apa belum cukup jelas. Tidakkah mas Khalid merasakan betapa bergetarnya bumi Allah ini di hari Jumat kemarin. Hampir semua masjid melantunkan doa qunut dan setelah itu setiap saat, setiap waktu doa-doa umat Islam makin bertambah dan terus bertambah, sehingga bumi dan isinya ini makin bergetar oleh lantunan doa kita?”

“Sabar…sabar mas Andre dan mas Khalid. Kita kesini kan mau diskusi sama pak Dhe. Lha kok malah berantem sendiri sebelum pak Dhe sempat berkomentar”, Udin mencoba menengahi.

Seperti tersadar dari mimpi buruk, Andre dan Khalid sama-sama beristighfar. Merekapun bersalaman dan seperti hampir menangis ketika akhirnya salaman itu berubah menjadi pelukan persaudaraan.

“Yuk.. siapa yang mau bercerita duluan”, pak Dhe mencairkan suasana dengan tawaran berbicara duluan.

Udinpun dengan lancar menceritakan hasil pertemuan mereka dengan pimpinan pabrik.

Intinya mereka ingin ikut demo dan bila memungkinkan minta ijin untuk ikut menjadi relawan dan berjihad ke Palestina, sementara sebagian dari mereka ternyata lebih memilih megirim doa saja dan tetap bekerja di pabrik.

Awalnya, sebenarnya mereka hanya ingin minta ijin untuk melakukan demo saja, tetapi ketika pimpinan pabrik meperbolehkan mereka, maka diskusi tersebut melebar sampai ke jihad ke palestina.

Akhirnya terbentuk dua kubu yang sama-sama ngotot mempertahankan argumentasinya. Sampai pimpinan pabrik meninggalkan ruang diskusi, mereka masih belum sepakat, sehingga terpikir oleh mereka untuk melakukan diskusi di mushola saja, biasanya ada pak Dhe yang suka memberi solusi.

Kelompok yang ingin menjadi relawan ini begitu ngotot ingin menyelesaikan masalah ini pada hari ini juga.

“Pak Dhe, Palestina sudah lelah. Mereka perlu suntikan tenaga kita”, begitu kata Andre ketika pak Dhe memintanya untuk berbicara.

“Sebentar lagi demo akan makin merebak dan membuat para pimpinan negara Islam berubah pendiriannya. Mereka yang tadinya ragu-ragu membantu Palestina akan berubah menjadi sangat mendukung. Kitapun ramai-ramai memboikot Israel, Amerika dan sekutunya. habislah Israel dan sekutunya pak Dhe. Itu tidak lama lagi”,kata Andre yakin.

“Dan kita ingin ikut menjadi saksi peritiwa itu langsung di Palestina!”

“Darimana kamu dapat “wangsit” itu Ndre?”, kata pak Dhe sambil tersenyum sabar.

“Pak Dhe inget firman Allah di katab Allah?”, kata Andre

“Berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah beserta orang orang yang sabar (istiqomah).” kata Khalid.

“Nah, kami yakin pertolongan Allah segera tiba. Yang penting dukungan kita dengan doa agar rakyat Palestina sabar”, tambah Andre.

“Hmmm jadi sebenarnya dimana yang dipertentangkan antara kalain?”, kata pak Dhe.

“Kelihatannya kalian saling mendukung. Yang mau pergi ke Palestina kita hormati dan kita dukung agar niatnya tulus ikhlas dan diterima Allah swt. Yang pingin kirim doa saja, karena mempunyai kendala untuk menjadi relawan ke Palestina, silahkan kirim doa sebanyak-banyaknya”

“Yang penting adalah yang ada di hati kalian. Suara hati itulah yang perlu dibaca dengan baik dan diterjemahkan dalam tindakan yang baik dan benar”

“Lihat kemampuan diri kalian, lihat kendala yang ada, lihat manfaat dan mudaratnya kemudian tetapkan tekad untuk melakukan yang kalian mampu dengan ikhlas”

Andre, Udin dan Khalid saling berpandangan. Mereka bingung sendiri, mengapa di ruang rapat pabrik mereka begitu kukuh dengan pendiriannya dan saling menegangkan urat leher ketika beradu pendapat, sementara menurut pak Dhe tidak ada perbedaan di antara mereka.

“Udah mau Dhuhur pak Dhe. Kunci mikenya dimana ya?”, kata Amir memecahkan kebisuan diskusi.

Siang itu merekapun sholat dengan doa yang lebih panjang dibanding biasanya. Semoga rakyat Palestina tetap menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya. Sesungguhnya pertolongan itu akan segera datang bila memang sudah tiba masanya.

Insya Allah, Tuhan mempercepat pertolonganNya.