Tag Archives: kampanye

Pak Dhe belum memilih [12]

“Poster-poster Caleg ini kita bersihkan saja dari lingkungan kita pak Dhe. Pandanganku sumpek melihat wajah-wajah caleg yang selalu tersenyum di saat perlu saja, seperti saat ini”, seperti biasa Khalid pasti langsung pada pokok permasalahan.

“Iya pak Dhe. Baliho partai XXX yang gedhe itu bahkan kemarin jatuh sendiri, gara-gara masangnya nggak bener. Untung nggak ada yang celaka gara jatuhnya baliho itu”, timpal Udin.

“Kenapa ya para petinggi partai tidak melihat kondisi ini. Mereka kan orang-orang pinter. Seharusnya mereka tahu, pemasangan atribut partai yang tidak bener dan asal tempel itu jelas merusak keindahan, merusak lingkungan bahkan merusak budaya kita”

Seperti biasa, pak Dhe selalu menanggapi semua berondongan dari para pemuda mushola dengan senyum khasnya.

“Khalid masih inget waktu natalan kemarin?”, kata pak Dhe pada Khalid.

“Lho apa hubungannya pak Dhe. Ya pasti inget donk. Itu kan pesta semalam suntuk di rumah Bang Marpaung”

“Nah, waktu itu Khalid ikut membantu mengatur lalu lintas di depan rumah Khalid. Ikut mengatur parkir, tetapi tetap saja banyaknya mobil membuat Khalid susah memarkir mobilnya sendiri. Belum lagi suara musik yang tidak berhenti sampai larut malam”

“Iya benar pak Dhe”

“Nah, waktu itu meskipun terganggu, tapi Khalid tetap tidak melakukan protes dan melaporkan kebisingan itu ke pak RT”

Khalid mulai menangkap arah pembicaraan pak Dhe.

“Nah, kamu Udin. Waktu lebaran kemarin apa yang dilakukan oleh Pak Kiai Sudrun dan keluargamu?”, pak Dhe berpindah tanya ke Udin.

“Yah, kita adakan acara makan bersama dari pagi sampai malem. Maklum saudara pak Kiai dan juga kenalan pak Kiai sangat banyak. Mereka datang dari segala penjuru kota maupun desa. Keluargaku yang juga banyak malah ikut diundang di rumah pak Kiai, yah karena pak Kiai memang sangat dekat dengan anak-anakku”, jawab Udin.

“Terus apa komentar Bang Silitonga? Apa dia terganggu dengan keramaian tetangga dekatnya itu?”, kata pak Dhe

“He..he…he… pak Silitonga malah nyumbang nyanyi pak Dhe. Dia baru gelagapan ketika disapa oleh pak Kiai Ageng, soalnya pak Silitonga fasih nyanyi lagu arab tapi gak bisa bahasa arab sedikitpun”, kata Udin tertawa kecil.

“Jadi begitulah suasana di republik kita ini. Anggap saja ini lomba masak nasi goreng, jadi ya kita beri kesempatan yang mau ikut lomba untuk menyiapkan diri dengan caranya masing-masing”

“Memang diperlukan tenggang rasa dari semua pihak. Para petinggi partai perlu mengarahkan mesin partainya agar tidak masang atribut partai sesuka sendiri dan diperlukan tenggang rasa dari kita, non partai, bila melihat pemasangan atribut partai yang tidak sesuai dengan aturan. Ini pesta rakyat dan kita sebaiknya ikut berpartisipasi dengan baik dan benar”

“Mereka itu hanya baik di saat seperti ini pak Dhe. Kalau pemilu sudah usai, maka mana mau mereka melihat lagi pada kita. Mereka memberi janji bukan bukti pak Dhe”, Khalid tetap sengit bila membahas partai.

“Pesta, dimana-mana memang perlu tenggang rasa dari semua pihak. Namanya saja pesta, jadi hanya sekali-sekali, tidak tiap hari”

Pak Dhe diam sejenak menanti reaksi pendengarnya.

“Saat ini para calon wakil rakyat sedang memeras otak agar menemukan cara terbaik untuk memajukan republik ini. Mari kita bantu mereka dengan memberi ruang yang cukup. Biarkan mereka menebarkan pesonanya, menebarkan programnya, agar bisa dinilai oleh kita-kita ini. Yang baik kita pilih yang tidak baik ya tidak usah kita pilih”

“Aku golput kok pak Dhe. Tidak haram kan?” Udin bertanya sambi melihat ke Khalid.

“Aku tahu, kamu dan Khalid pelopor golput di pabrik ini. Itu hakmu dan tidak ada yang bisa merubah hakmu itu kecuali kamu sendiri, tapi jangan paksa orang untuk golput. Mereka juga punya hak untuk memberikan suara atau tidak memberikan suara”, kata pak Dhe sambil tetap tersenyum.

Yang penting jangan sampai partai itu membuat kita terkotak-kotak. Jangan sampai persaudaraan kita, pertemanan kita, kekerabatan kita tergangu oleh pesta yang hanya sesaat ini. Kita bisa toleransi dengan umat lain tentu bisa juga toleransi dengan sesama penduduk Indonesia”

“Pak Dhe sendiri milih partai mana ya?”, penasaran Khalid bertanya ketika melihat pak Dhe beranjak dari duduknya menuju ke ruang wudhu.

“Jangan-jangan pak Dhe milih partai cerdas yang suka kampanye mengatas namakan Islam itu ya?”, Udin ikut beringsut mendekati pak Dhe.

Pak Dhe menepuk-nepuk pundak Khalid ketika dia berkata, “Aku perlu sholat tahajud dulu di malam menjelang hari “H”, agar ditunjukkan pilihan yang paling cocok untuk Indonesia. Semua kontestan baik, sehingga aku perlu meyakinkan diriku dengan bertanya pada yang Maha Tahu.”

Khalid manggut-manggut dan mulai berpikir untuk mengikuti saran pak Dhe.

“Golput itu pilihanku, tapi aku juga bebas berubah pikiran”, pikir Khalid sambil tersenyum cerah.

Dongeng Pak Dhe [6]

Pak Dhe berhenti melangkah dari Masjid, ketika serombongan anak-anak menghadangnya di mulut gang.

“Mampir sebentar pak Dhe ke mushola”, rayu rombongan anak-anak itu dengan wajah penuh harap cemas. Khawatir pak Dhe tidak mau menuruti ajakan mereka.

“Wah, besok saja ya ke musholanya. Pak Dhe baru sibuk pagi ini”, jawab Pak Dhe sambil tetap tersenyum.

“Sebentar saja juga boleh kok Pak Dhe. Sebentaaaaar saja….”

“Iya pak Dhe, sebentaaaaar saja…”

Pak Dhe akhirnya luluh juga oleh rayuan rombongan anak-anak yang tidak mudah menyerah ini.

Sambil tersenyum pak Dhe tertawa sendiri dalam hati.

Inilah buah dari ceramah yang sering dia sampaikan ke anak-anak itu.

“Jangan pernah berhenti mengambil kesempatan yang biasanya cuma sempit. Terus berjuang agar kesempatan dalam kesempitan itu menjadi peluang yang baik dalam hidup kalian”

Nah nasehat itu akhirnya dilaksanakan dengan baik oleh anak-anak itu untuk merayu Pak Dhe. Dengan gigih mereka merayu Pak Dhe agar mau mampir ke mushola untuk memberikan ceramah sehabis subuh.

“Memang kalian tadi tidak sholat subuh di Masjid?”, kata pak Dhe begitu duduk di depan rombongan anak-anak yang sudah melingkar di depannya.

“Kita tidak boleh lagi sholat di Masjid pak Dhe. Dilarang sama mas Udin. Diancam lagi”, jawab anak-anak serempak.

PaK Dhe jadi tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban simpang siur dari anak-anak.

“Makanya jangan suka membuat ribut di Masjid. Itu akibatnya”, sungut Andra, anak tertua di antara kelompok anak-anak itu.

Pak Dhe makin tergelak mendengar sungutan Andra dan jawaban anak-anak lain yang tidak mau dianggap sebagai pembuat ribut.

“Oke… Ayuk sekarang kita mulai ceramah pagi ini. Pak Dhe mau ceramah tentang besarnya pahala berbakti pada orang tua. Siapa setuju?”

Semua anak-anakpun serempak menjawab,”Setujuuuuuuu!”

“Tapi jangan lama-lama ya pak Dhe. Kan kita sudah diajar sama Ustadz Imam tentang pahala berbakti pada orang tua”, Andra nyeletuk ketika anak-anak sudah mulai mengambil sikap duduk mendengarkan cermaah pak Dhe.

Pak Dhe jadi tergelak mendengar ucapan Andra.

“Pasti kamu hanya ingin mendengar dongeng pak Dhe setelah ceramah ya?”

Serempak anak-anak bertepuk tangan mendengar ucapan pak Dhe.

“Betuuuul …!!!”

Pak Dhepun mula berceramah tentang pahala berbakti pada orang tua. Gaya cerita pak Dhe yang luwes dan penuh improvisasi selalu membuat anak-anak itu terdiam, terharu, tegang sampai tertawa terpingkal-pingkal.

Suasana makin riuh rendah ketika pak Dhe mengakhiri cermahnya dan menyambungnya dengan cerita lepas.

Bagai tersihir, anak-anak itu mendengarkan cerita pak Dhe. Padahal cerita yangdisampaikan pak Dhe bukan cerita luar biasa. Kebanyakan cerita tentang perjuangan, persahabatan atau keimanan yang dikemas dalam cerita pertualangan. Kentara sekali kalau pak Dhe ini pernah menjadi penggemar Old Shaterhand sekaligus Kho Ping Hoo.

Tokoh yang diambil juga biasanya adalah tokoh yang sehari-hari mereka lihat dengan nama yang asal-asalan diambil oleh pak Dhe.

Cerita-cerita yang biasanya ditemukan dalam buku hadits shahih diolah sedemikian rupa, sehingga seolah-olah menjadi cerita yang terjadi di saat ini.

Pak Dhe selalu tersenyum bahagia setiap mengingat kejadian itu. Sebuah kejadian yang sudah terjadi sekitar dua puluh tahun lalu.

Di hadapan pak Dhe saat ini adalah sepasang pasutri yang baru saja menikah minggu lalu.

Mereka telah lama menunggu di rumah pak Dhe, karena pak Dhe memang sedang ada tugas lembur di pabrik sehingga pulang terlambat.

Pak Dhe hanya melihat sebuah mobil mewah di depan rumahnya dan ketika dia masuk rumah, sepasang pasutri itu sudah menunggu di ruang tamu, sambil berbincang dengan BuDhe.

“Pak Dhe masih kenal kan dengan kita?”, kata lelaki muda itu sambil menyalami pak Dhe.

“Ha..ha..ha.. siapa ini ya? Dimana aku kenal?”, pak Dhe merasa ada guratan di wajah laki-laki itu yang dikenalnya, tetapi pak Dhe lupa kenal dimana.

“Bulan lalu kami kirim undangan pernikahan kami ke Pak Dhe, tapi pak Dhe pasti tidak bisa datang karena jauh. Jadi kami memang sudah merencanakan untuk datang ke rumah pak Dhe setelah kami menikah”

“Oalah….. ini Andra ya? Andra and the Back Bone ya?”, pak Dhe sampai keluar air matanya ketika mengguncang-nguncang bahu Andra yang terlihat sangat bidang.

“Iya pak Dhe. Seperti yang selalu pak Dhe bilang, bahwa kita harus selalu ingat pada orang tua kita, jadi harini kami datang sebagai anak-anak pak Dhe”, jawab Andra di sela-sela isyak tangisnya.

Dua puluh tahun lebih tidak berjumpa dan Andra tidak kuasa menahan isak tangis ketika berjumpa dengan tokoh idolanya di masa kecil dulu.

Pembicaraanpun jadi sangat hangat. Bu Dhe ikut menimpali disana-sini sambil seskali ke masuk belakang untuk mengambil makanan atau minuman.

“Jadi ini istrimu ya Ndra?”

“Bener pak Dhe, seperti yang selalu pak Dhe bilang. Andra telah berhasil mencari cewek yang buta, lumpuh dan bisu”

“Alhamdulillah. Kamu masih ingat cerita itu ya?”

“Iya pak Dhe. Buta terhadap pandangan yang tidak baik. Lumpuh, karena tidak bisa pergi ke tempat-tempat maksiat dan Tidak bisa bebricara dengan kata-kata yang menyakitkan hati”.

Wajah bahagia dan puas terpancar dari wajah Pak Dhe. Capek kerja lembur hari ini seperti tidak dirasakan lagi. Pertemuan denga mantan anak didiknya yang sudah menganggap dirinya sebagai orang tua kedua, karena orang tua aslinya sudah meninggal membuat pak Dhe seperti mempunyai kekuatan baru.

Pembicaraan terus berlangusng dengan hangat sampai akhirnya waktu yang membuat Andra harus berpamitan.

Sebelum pamitan, Andra menyerahkan sebuah kartu nama.

“Pak Dhe ini titipan dari komunitas kami. Silahkan pak Dhe memilihnya atau tidak memilihnya”

Sekilas pak Dhe melihat di kartu nama itu ada gambar yang sering muncul di televisi.

“Hmmm …… ini kampanye Ndra?”

“Benar pak Dhe, tapi saya tidak berharap pak Dhe memilihnya, karena Andra yakin pak Dhe pasti sudah punya pilihan. Ini hanya menjalankan amanah partai pak Dhe”

“Hmmm kamu tambah bijak sekarang Ndra”, senyum pak Dhe sambil menerima kartu nama itu.

“Semua karena pak Dhelah”, sambut Andra dengan senyum ala pak Dhe.

“Oke terima kasih Ndra atas kartu nama ini. Aku akan coba berpikir sampai hari terakhir pemilihan. Aku juga masih belum menentukan pilihan siapa yang mesti kupilih”

Di Tengah Malam, pak Dhe mencoba berdialog dengan Sang Maha kasih, semua ucapan syujkur mengalir dari mulut pak Dhe atas semua yang telah dia terima dariNya.

Bibit yang dia tanam rupanya sebagaian telah berbuah menjadi buah yang manis.

“Alhamdulillah”

””’

Artikel Pak Dhe yang lain

Prabowo OK
Senyum Untuk DM
Bongkar Atribut Partai
Kesedihan Pak Dhe
Keceriaan Pak Dhe
Gertakan Obama
Runtuhnya Israel
Tolonglah Pak Dhe
alhamdulillah calegku kalah